Tulisan ini tidak bermaksud mengecilkan jasa-jasa seorang R.A. Kartini
yang turut membangkitkan semangat kaum wanita Indonesia untuk maju. Juga
tidak merendahkan penghargaan gelar pahlawan kepada beliau oleh
pemerintah. Tapi hanya ingin menyadarkan kita bahwa tidak sepenuhnya
sejarah itu mutlak benar, dan apa-apa yang kita yakini kebenarannya saat
ini bisa saja sebuah kekeliruan yang harus dikoreksi.
Gambar: Ibu Kita Kartini |
Bermula di tahun 1970-an, ketika itu guru besar Universitas Indonesia (UI), Prof. Dr. Harsja W. Bachtiar mengkritik “pengkultusan” R.A. Kartini sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dalam
buku Satu Abad Kartini (1879-1979), (Jakarta Pustaka Sinar Harapan,
1990 cetakan ke-4), Harsja W. Bachtiar menulis sebuah artikel berjudul:
Kartini dan Peranan Wanita dalam Masyarakat Kita. Tulisan ini bernada
gugatan terhadap penokohan Kartini. Kita mengambil alih Kartini sebagai
lambang emansipasi wanita di Indonesia dari orang-orang Belanda.
Harsja juga menggugat dengan halus, kenapa harus Kartini yang
dijadikan sebagai simbol kemajuan wanita Indonesia. Ia menunjuk dua
sosok wanita yang hebat dalam sejarah Indonesia. Pertama, Sultanah Seri
Ratu Tajul Alam Safiatuddin Johan Berdaulat dari Aceh dan kedua, Siti
Aisyah We Tenriolle dari Sulawesi Selatan. Anehnya, tulis Harsja, dua
wanita itu tidak masuk dalam buku Sejarah Setengah Abad Pergerakan
Wanita Indonesia.
Tentu saja Kartini masuk dalam buku tersebut. Padahal, papar Harsja,
kehebatan dua wanita itu sangat luar biasa. Sultanah Safiatudin dikenal
sebagai sosok yang sangat pintar dan aktif mengembangkan ilmu
pengetahuan. Selain bahasa Aceh dan Melayu, dia menguasai bahasa Arab,
Persia, Spanyol dan Urdu.
Penelusuran Prof. Harsja W. Bachtiar terhadap penokohan Kartini
akhirnya menemukan kenyataan, bahwa Kartini memang dipilih oleh orang
Belanda untuk ditampilkan ke depan sebagai pendekar kemajuan wanita
pribumi di Indonesia. Mula-mula Kartini bergaul dengan Asisten-Residen
Ovink suami-istri. Adalah Cristiaan Snouck Hurgronje, penasehat
pemerintah Hindia Belanda, yang mendorong J.H. Abendanon, Direktur
Departemen Pendidikan, Agama dan Kerajinan, agar memberikan perhatian
pada Kartini tiga bersaudara.
Lebih dari enam tahun setelah Kartini wafat pada umur 25 tahun, pada
tahun 1911, Abendanon menerbitkan kumpulan surat-surat Kartini dengan
judul Door Duisternis tot Lich. Kemudian terbit juga edisi bahasa
Inggrisnya dengan judul Letters of a Javaness Princess. Beberapa tahun
kemudian, terbut terjemahan dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis
Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran (1922, terjemahan Empat Saudara).
Dua tahun setelah penerbitan buku Kartini, Hilda de Booy-Boissevain
mengadakan prakarsa pengumpulan dana yang memungkinkan pembiayaan
sejumlah sekolah di Jawa Tengah. Tanggal 27 Juni 1913, didirikan Komite
Kartini Fonds, yang diketuai C. Th. Van Deventer.
J.H. Abendanon, Menteri yang menulis buku
J.H. Abendanon (1852-1925) adalah Menteri Kebudayaan, Agama, dan
Kerajinan Hindia Belanda dari tahun 1900-1905. Ia datang ke
Hindia-Belanda pada tahun 1900 dan ditugaskan oleh Belanda untuk
melaksanakan Politik Etis. Karena baru di Hindia-Belanda, Abendanon
tidak mengetahui keadaan masyarakat Hindia-Belanda dan tidak paham
bagaimana dan dari mana ia memulai programnya. Untuk keperluan itu,
Abendanon banyak meminta nasihat dari teman sehaluan politiknya, Snouck
Hurgronje, seorang orientalis yang terkenal sebagai arsitek perancang
kemenangan Hindia-Belanda dalam Perang Aceh.
Di bawah Abendanon, sejak tahun 1900 mulai berdiri sekolah-sekolah
baik untuk kaum priyayi maupun rakyat biasa yang hampir merata di
daerah-daerah. Pada tahun ini sekolah Hoofdenscholen (sekolah para
kepala) yang lama diubah menjadi sekolah yang direncanakan untuk
menghasilkan pegawai-pegawai pemerintahan dan diberi nama baru OSVIA
(Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren).
J.H. Abendanon kemudian dikenal sebagai salah satu teman
koresponden Kartini dan dialah yang menulis buku berjudul Door
Duisternis tot Licht yang diterjemahkan oleh Armyn Pane menjadi Habis
Gelap Terbitlah Terang. Buku Door Duisternis tot Licht di terbitkan
tahun 1911 oleh pemerintah Belanda. Buku ini dicetak sebanyak lima kali,
dan anehnya pada. cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
(Wikipedia).
Snouck Hurgronje dan sepak terjangnya
Gambar: Snouck Hurgronje |
Di atas disebutkan peran Snouck Hurgronje sebagai teman bertukar
pikiran J.H. Abendanon dalam menjalankan politik etis. Siapa Cristiaan
Snouck Hurgronje pasti pembaca sudah banyak yang mengetahuinya.
Christiaan Snouck Hurgronje (1857-1936) adalah seorang pendeta Protestan
seperti halnya ayah, kakek, dan kakek buyutnya. Sejak kecilnya Snouck
sudah diarahkan pada bidang teologi. Tamat sekolah menengah, dia
melanjutkan ke Universitas Leiden untuk mata kuliah Ilmu Teologi dan
Sastra Arab di tahun 1875. Lima tahun kemudian, dia tamat dengan
predikat cum laude dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Perayaan di
Mekah). Tak cukup bangga dengan kemampuan bahasa Arabnya, Snouck
kemudian melanjutkan pendidikan ke Mekkah tahun 1884. Di Mekkah,
keramahannya dan naluri intelektualnya membuat para ulama tak segan
membimbingnya. Dan untuk kian merebut hati ulama Mekkah, Snouck memeluk
Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.
Namun, pertemuan Snouck dengan Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang
keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan Aceh, kemudian
berhasil “dibeli” oleh Belanda dan dikirim ke Mekkah, mengubah minatnya.
Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah, JA Kruyt, dia mulai
mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran di
Aceh. Setelah saran-sarannya tak ditanggapi Gubernur Belanda di
Nusantara, Habib Zahir yang kecewa menyerahkan semua naskah
penelitiannya kepada Snouck yang saat itu, tahun 1886, telah menjadi
dosen di Leiden.
Menurut Van Koningsveld, pemerintah kolonial mengerti benar sepak
terjang Snouk dalam penyamarannya sebagai Muslim. Snouck dianggap oleh
banyak kaum Muslim di Nusantara ini sebagai ulama. Bahkan ada yang
menyebutnya sebagai Mufti Hindia Belanda. Juga ada yang memanggilnya
Syaikhul Islam Jawa. Padahal, Snouck sendiri menulis tentang Islam;
"Sesungguhnya agama ini meskipun cocok untuk membiasakan ketertiban
kepada orang-orang biadab, tetapi tidak dapat berdamai dengan peradaban
modern, kecuali dengan suatu perubahan radikal, namun tidak sesuatu pun
memberi kita hak untuk mengharapkannya".
Dalam bukunya, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta, LP3ES, 1985), Dr.
Aqib Suminto mengupas panjang lebar pemikiran dan nasehat-nasehat Snouck
Hurgronje kepada pemerintah kolonial Belanda. Salah satu strateginya
adalah melakukan pembaratan kaum elite pribumi melalui dunia pendidikan,
sehingga mereka jauh dari Islam. Sedangkan pengaruh Barat yang mereka
miliki akan mempermudah mempertemukannya dengan pemerintahan Eropa.
Snouck optimis, rakyat banyak akan mengikuti jejak pemimpin tradisional
mereka.
Sumber: www.mediaindonesia.com
No comments:
Post a Comment